Ketika 'Usia Hidup' KPK Akan Dibatasi

Aksi Pantomim Serikat Pekerja JICT di KPK
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA.co.id - Isu revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengemuka. Ini menyusul proses pembahasan mengenai rencana tersebut di Badan Legislasi (Baleg) DPR terus berkembang.

Pada Selasa, 6 Oktober 2015, Baleg DPR menggelar rapat pembahasan usulan perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Revisi atas UU ini memang sudah masuk dalam prioritas program legislasi nasional setelah hampir tiga tahun tertunda.

Anggota Baleg dari Fraksi PDIP Hendrawan Soepratikno mengatakan bahwa draf revisi UU KPK disusun oleh DPR dan menjadi inisiatif DPR. Menurut Hendrawan, revisi tersebut untuk penguatan lembaga tersebut.

"Sifatnya ini penguatan KPK. Dimensi kedua, menempatkan kewenangan agar tidak menimbulkan konflik, jangan abuse of power," kata Hendrawan tanpa mengungkap pasal mana saja di UU itu yang akan direvisi.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan, revisi UU tersebut dalam rangka mengkritisi penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK. Dia menekankan, tidak ada lembaga apa pun yang tidak bisa diawasi.

"Ini penting. Bentuk kepedulian kita. Ada penolakan itu dinamika politik," kata Misbakhun.

Sementara itu, Wakil Ketua Baleg, Firman Soebagyo, menjelaskan bahwa Baleg memang tidak bisa menolak untuk membahas revisi itu, karena ada usulan. Menurut dia, berdasarkan aturan, jika ada pengusul, tugas Baleg harus membahas.

"Ini usulan PDIP dan beberapa lintas fraksi," kata Firman.

Dalam rapat tersebut, ada enam fraksi yang mengusulkan agar UU KPK direvisi dan didorong untuk menjadi inisiatif DPR. Keenam fraksi itu yakni, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Nasdem, Fraksi PPP, Fraksi Hanura, Fraksi PKB, dan Fraksi Golkar.

Rapat pada akhirnya ditunda hingga Senin, pekan depan. Rencananya, DPR akan mengundang perwakilan dari pemerintah, yakni menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Soal Revisi UU KPK, Menteri Yasonna: Publik Salah Paham

Pasal Kontroversial

Seperti waktu-waktu yang lalu, perkembangan mengenai revisi UU KPK ini segera menuai polemik. Banyak kalangan termasuk para politisi dan juga aktivis antikorupsi yang menolak.

Penolakan terhadap revisi UU KPK bukan tanpa alasan. Sejumlah pasal dalam draf yang sudah beredar itu memang berisi aturan yang kontroversial. Misalnya, pembatasan masa tugas KPK menjadi hanya 12 tahun.

Pembatasan masa bakti KPK ini berada pada pasal 5 yang berbunyi, "Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan."

Berikutnya, pasal 13 yang membatasi kasus yang ditangani KPK minimal Rp50 miliar, pasal 14 membatasi kewenangan penyadapan KPK yang harus izin kepada ketua Pengadilan Negeri, pasal 22, 23, 24, 25, yang mengatur pembentukan Dewan Eksekutif KPK, pasal 39 yang mengatur soal Dewan Kehormatan KPK.

Kemudian, KPK diberi kewenangan baru untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Kewenangan baru ini tercantum dalam draf revisi Pasal 42.

Pasal ini berbunyi, "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat (2) KUHP."

Selanjutnya, pasal 52 ayat 2 yang melemahkan posisi KPK di hadapan kepolisian dan kejaksaan.

"Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan kepolisian atau kejaksaan belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh KPK, maka KPK wajib memberitahukan kepada kepolisian atau kejaksaan paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan."

Pasal 53 ayat 1 sampai dengan 3 yang mengatur soal penuntutan. Pasal-pasal ini pada intinya menyatakan bahwa penuntut adalah jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung.

Lalu, soal masa kerja KPK yang muncul pada pasal 73. Pasal ini berbunyi, "Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berakhir setelah 12 tahun sejak diundangkan."



Respons Publik

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, menolak tegas rencana revisi Undang-Undang KPK. Menurut Ruhut, revisi itu justru akan melemahkan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Kami dari Demokrat menolak. Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) belum mencabut perintah untuk kami agar selalu menjaga KPK. Pak SBY selalu katakan save KPK," kata Ruhut saat dikonfirmasi VIVA.co.id, Rabu, 7 Oktober 2015.

Ruhut menuturkan, UU KPK lahir pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, akibat rakyat miskin karena ulah para koruptor. Sementara itu, para penegak hukum tidak bisa mengatasinya.

"Jadi, KPK jangan dilemahkan. Seperti penyadapan harus izin pengadilan, masa berlaku 12 tahun, punya kewenangan SP3, menghilangkan wewenang penuntutan," ujar Ruhut.

Ruhut berpendapat, para anggota DPR yang mengusulkan atau mendukung revisi UU KPK menginginkan lembaga itu bubar. Meskipun, selalu menggunakan bahasa halus dengan menyebut KPK adalah lembaga ad hoc atau sementara, atau bahkan mengklaim revisi demi penguatan.

"Kalau berjalan sesuai hukum, tidak melanggar hukum, kita tak perlu takut dengan KPK," ujar Ruhut.

Penolakan juga disampaikan oleh kolega Ruhut di Partai Demokrat yaitu Didi Irawadi Syamsuddin. Didi yang menjabat sebagai wakil sekretaris jenderal itu mengaku prihatin, karena masih ada saja pihak yang hendak melemahkan KPK dengan cata mengurangi berbagai kewenangan mereka.

"Sejatinya, dalam kondisi korupsi yang masih marak saat ini, kewenangan-kewenangan tersebut masih sangat diperlukan," ujar Didi.

Didi tidak sepakat kalau fokus KPK hanya sebatas pencegahan semata. Sebab, pencegahan dan penindakan harus seiring sejalan.

"Tidak bisa salah satu dihilangkan, jelas para koruptor akan senang apabila tidak bisa ditindak oleh KPK," ujar Didi.

Selain itu, dia berpendapat bahwa tidak akan ada efek jera bagi koruptor manakala tidak bisa ditindak oleh KPK. Apalagi, selama ini penindakan oleh KPK sudah cukup berhasil menyelamatkan uang negara secara signifikan.

"Juga, kami tidak setuju, hanya kasus di bawah Rp50 miliar yang bisa ditangani KPK. Hal ini jelas akan mempersempit ruang gerak KPK," ujar Didi.

Didi yang pernah menjadi anggota Komisi III DPR itu menilai penanganan kasus korupsi minimal Rp1 miliar sebagaimana UU yang eksis saat ini, sudah tepat. Lagi pula, banyak oknum penyelenggara negara kisaran korupsinya mulai Rp1 miliar hingga di atas Rp50 miliar.

"Bagaimana pun oknum-oknum yang telah mengotori negara tersebut tetap harus bisa dijangkau oleh KPK," kata dia.

Anak mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin itu menegaskan, partainya tidak setuju apabila KPK dibatasi hanya sampai 12 tahun sejak UU baru hasil revisi nanti. Karena, bagaimana pun selama korupsi masih ada, KPK harus tetap ada.

Didi mencontohkan Hong Kong yang kini sudah nyaris bersih dari korupsi, hingga hari ini KPK-nya pun tetap eksis.

"Anyway, negara masih darurat korupsi. Oleh karenanya, tidak ada alasan kuat revisi dengan tujuan mengubah sebagian kewenangan KPK sebagaimana di atas. Sekali lagi, yang akan senang adalah para koruptor kalau revisi itu tetap dipaksakan," kata Didi.

Penolakan tak hanya disuarakan Partai Demokrat. Anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Almuzzammil Yusuf menolak usulan perubahan Undang-Undang KPK.

Dia menyatakan bahwa peran KPK masih penting untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan kewenangan pencegahan, penindakan, dan penuntutan. Oleh karena itu, PKS menolak usulan perubahan UU KPK menjadi inisiatif DPR di Baleg.

"Saya melihat perbedaan antarfraksi terlalu tajam dan bisa menjadi bola liar. Jika pemerintah serius ingin merevisi, silakan RUU itu jadi usul pemerintah. Kami akan siapkan DIM (daftar inventarisasi masalah) versi kami," ujar Almuzzammil dalam pernyataan tertulis yang diterima VIVA.co.id, Rabu, 7 Oktober 2015.

Menurut Almuzzammil, kewenang KPK seharusnya tidak dikurangi. Yang terpenting adalah perlunya membentuk suatu komite etik untuk mengawasi kinerja KPK.

"Tidak boleh dikurangi, supaya tidak ompong. Malah harus kita perkuat dengan Komite Etik yang permanen supaya jika ada penyelewengan oknum KPK bisa langsung ditindak," tuturnya.

Almuzzammil juga menilai bahwa memasukkan RUU KPK tiba-tiba di tengah jalan, seakan-akan darurat, justru akan menimbulkan perdebatan yang kontraproduktif.

"DPR dan pemerintah harus berempati dengan kondisi rakyat. Kita tidak boleh berpolemik di tengah rakyat sedang menderita," ujar Yusuf.

Yusuf berpendapat, ada banyak hal penting dan lebih membutuhkan perhatian cepat dari pemerintah dan DPR, daripada mengurusi revisi UU KPK.

"Prioritas agenda utama pemerintah dan DPR saat ini adalah mencari solusi penyelesaian agar Indonesia segera keluar dari krisis mata uang rupiah, pangan, asap, dan air. Ini yang saat ini dibutuhkan rakyat," ungkap dia.

Sementara itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menilai draf usulan revisi Undang-Undang KPK zecara jelas akan memperlemah lembaga itu. ICJR meilihat hal-hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK.

"Ada niat untuk membajak KPK dalam pasal-pasal revisi tersebut," kata Direktur Eksekutif lCJR, Supriyadi Widodo Eddyono, dalam pernyataan tertulisnya, Rabu, 7 Oktober 2015.

Supriyadi menyebut, ICJR mencatat beberapa hal krusial dalam revisi tersebut. Salah satu di antaranya adalah mengenai masa waktu berdirinya KPK, yakni 12 tahun sejak draf itu menjadi undang-undang. Menurut Supriyadi, adanya batasan waktu dinilai menyederhanakan penanganan masalah korupsi di Indonesia.

"Seakan-akan masalah korupsi yang dapat diselesaikan dengan 12 tahun. Ketentuan ini juga menitikberatkan bahwa masalah penanganan korupsi hanya kepada penegakan hukum, bukan hanya kepada pencegahan dan lainnya," ujar dia.

Supriyadi juga menilai kewenangan KPK sengaja dibuat terbatas. Hal tersebut merujuk dengan adanya ketentuan dalam draf yang menyebut KPK hanya menangani perkara korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp50 miliar. Menurut Supriyadi, hal tersebut akan mengecilkan jumlah kasus yang akan di tangani oleh KPK.

Selain itu, Supriyadi menyoroti mengenai adanya struktur "dewan eksekutif" di KPK yang tercantum dalam draf. Menurut dia, hal tersebut tidak sesuai dengan struktur KPK sebagai lembaga negara dan justru membuat birokrasi baru.

"Ketentuan ini sengaja melemahkan fungsi pimpinan-komisioner KPK," sebut dia.

Berdasarkan hal-hal tersebut, Supriyadi melihat materi dalam draf RUU yang diinisiasi DPR itu sudah dalam taraf melemahkan, bahkan membajak KPK.

"ICJR merekomendasikan DPR sebaiknya menghentikan seluruh inisiatifnya untuk merevisi Undang-Undang KPK. Baik dari segi momentum dan keutuhannya, revisi UU KPK belum dibutuhkan," katanya.

Gerindra Curiga Barter Revisi UU KPK dan Pengampunan Pajak



Beda Pendapat

Anggota Komisi III DPR, Junimart Girsang, menjelaskan pentingnya pemberian kewenangan SP3 pada KPK. Menurut dia, upaya ini menyangkut hak asasi seseorang.

"Nantinya, KPK tidak perlu memaksakan menyidik suatu kasus, apabila ternyata dugaan yang disangkakan tidak didukung temuan alat bukti yang cukup," kata Junimart saat dihubungi, Rabu, 7 Oktober 2015.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini berharap dengan pemberian kewenangan SP3, KPK bisa lebih leluasa untuk menghentikan penyidikan, jika memang belum memiliki bukti yang kuat. SP3 selama ini hanya digunakan oleh kejaksaan dan kepolisian.

"Jadi, dengan adanya kewenangan SP3 ini, kami berharap KPK bisa lebih leluasa untuk menghentikan penyidikan jika memang itu belum cukup didukung kelengkapan alat bukti yang kuat," tuturnya.

Politikus PDIP yang lain, Masinton Pasaribu, mengatakan bahwa semangat revisi Undang-undang KPK adalah untuk penataan dan pembenahan sistem penegakan hukum. Masinton menginginkan adanya fase transisi selama 12 tahun.

"Saya sebagai salah satu inisiator melihat semangatnya di sana. Fase 12 tahun ke depan adalah untuk penataan, memperkuat, dan memperbaiki sistem penegakan hukum," kata Masinton di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu 7 Oktober 2015.

Masinton tidak khawatir publik akan menilai dia dan partainya dicap sebagai pihak yang berniat melemahkan KPK. Sebab, revisi UU KPK tidak berdiri sendiri.

"Saya nggak takut. Karena dibarengi revisi UU Kejaksaan dan Kepolisian," ujar Masinton.

Masinton menganggap KPK bukanlah satu-satunya alat dalam memberantas korupsi. Oleh karena itu, posisi kepolisian dan kejaksaan perlu untuk diperkuat.

"KPK kan alat. Sasaran kami kan tetap pemberantasan korupsi. Nah, ada alat lain, yang namanya kepolisian, kejaksaan. Porsinya dikurangi kan akan dialihkan ke mari," kata Masinton.

Menurut Masinton, angka 12 tahun "masa hidup" KPK juga untuk menggenapkan usia reformasi Indonesia menjadi 30 tahun. Dia berharap, selama fase ini juga ada upaya penguatan lembaga penegak hukum yang lain.

"12 tahun itu kami akumulasi dengan perjalanan reformasi ini. Jadi, 30 tahun loh. Sekarang perjalanan kita 17 tahun reformasi. Kan enggak salah kalau kita coba menata kembali. Jadi, kita letakkan pada porsi-porsi kenegaraannya," kata Masinton.

Dia melihat pembenahan dari kepolisian belum optimal. Selama 17 tahun setelah reformasi ini, Masinton melihat mentalitas lama yang kurang baik dari Polri masih belum diperbaiki.

"17 tahun ini? Mentalitas lama itu memang masih ada, tapi harus kita dorong (perbaiki) terus. Bahwa mentalitas lama masih ada, kita akui juga masih ada. Tapi, kan porsinya harus diberikan," ujarnya.

Lalu, bagaimana jika Polri belum bisa membenahi dirinya selama 12 tahun ke depan?

"Ya diperpanjang. Kalau tidak direvisi atau ditambah waktunya. UU bukan kitab suci," kata Masinton.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menjelaskan pada awal pembentukannya, KPK memang didesain sebagai lembaga penegak hukum yang bersifat ad hoc, artinya KPK memang tidak dirancang untuk terus-menerus ada seperti kepolisian dan kejaksaan.

"Dalam merespons draf RUU Perubahan UU KPK yang disusun oleh teman-teman dari Fraksi PDIP, maka PPP memandang bahwa limitasi batas waktu tersebut jangan dikunci mati," katanya saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 7 Oktober 2015.

Anggota Komisi III DPR ini menjelaskan dalam draf revisi ini harus diberi klausul tambahan bahwa batas waktu di atas dapat diusulkan oleh Presiden untuk diperpanjang kepada DPR melalui perubahan.

"Kemudian, perlu ditegaskan bahwa Presiden mengajukan perpanjangan masa tugas KPK tersebut berdasarkan kebutuhan pemberantasan korupsi pada saat berakhirnya KPK yang ditetapkan dalam undang-undang yang baru," katanya.



KPK Menolak

Pelaksana Tugas KPK, Taufiequrachman Ruki, mengatakan bahwa revisi UU KPK yang diinisiasi DPR ini akan melemahkan KPK di masa yang akan datang. Sebab, menurut Ruki, beberapa pasal yang ada dalam draf itu berisi hal-hal yang memangkas kewenangan KPK.

"Inisiatif perubahan UU KPK ini memang harus datang dari pemerintah atau DPR, tiba-tiba datang dari DPR yang menurut kami melemahkan KPK yang akan datang," kata Ruki dalam konferensi pers yang digelar di Gedung KPK, Jakarta, Rabu 7 Oktober 2015.

Menurut Ruki, jika DPR meminta KPK memberikan pendapat, pihaknya akan aktif memberikan masukan. Namun, sampai saat ini KPK belum dilibatkan.

Ruki yakin bahwa Presiden Joko Widodo tidak mengubah sikap soal penguatan terhadap KPK. Saat pemerintah mengajukan revisi UU KPK, Ruki sudah langsung bertanya kepada Jokowi soal kehendaknya untuk merevisi kewenangan KPK.

"Saat itu, Presiden mengatakan bahwa pemerintah belum setuju atas perubahan UU KPK," kata Ruki.

Ruki pun hingga saat ini belum mendapat informasi soal perubahan sikap Jokowi. Dia yakin Jokowi belum mengubah sikapnya soal RUU KPK.

"Sampai sekarang kami belum ada informasi soal perubahan sikap, saya lihat running text, Seskab bilang Presiden menolak," kata Ruki.

Sementara itu, Pelaksana Tugas Pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji, meminta komitmen pemerintah untuk menolak revisi Undang-Undang KPK. Indriyanto mengingatkan jika Jokowi sebelumnya telah menolak membahas revisi itu.

"Komitmen Presiden adalah tetap menolak pembahasan revisi UU KPK, karenanya menkumham diharapkan mematuhi perintah Presiden," ujar Indriyanto dalam pesan singkatnya, Rabu, 7 Oktober 2015.

Indriyanto menilai revisi terhadap Undang-Undang KPK masih belum perlu untuk dilakukan. Dia menilai revisi tersebut akan berpengaruh pada keberadaan lembaga KPK.

"Perubahan Undang-Undang KPK untuk saat ini belum waktunya dan tidak kondusif, karena selain berdampak terhadap eksistensi KPK juga iklim politik masih belum jelas arah dan tujuan revisi ini," kata Indriyanto.

Selain akan berdampak kepada eksistensi kelembagaan, Indriyanto menilai, revisi juga akan mengamputasi kewenangan yang dimiliki oleh KPK seperti soal penyadapan.

"Kalau DPR memang bersikukuh untuk merevisi yang berakibat pengamputasian eksistensi KPK, maka sebaiknya dipikirkan saja perlu tidaknya kelembagaan KPK di bumi tercinta ini," ucapnya.

Indriyanto menilai Undang-Undang KPK saat ini masih cukup baik, termasuk untuk teknis pencegahan maupun penindakan.

Terkait dengan wacana bahwa KPK hanya akan diberlakukan selama 12 tahun, Indriyanto menegaskan bahwa usia lembaga itu tidak dapat ditentukan berdasarkan waktu.

"Perlu dipahami bahwa apabila KPK dianggap sebagai lembaga 'ad hoc', maka pemahaman 'ad hoc' tidak dapat didasari atas masa waktu berlakunya, tapi kondisi yang menentukan hal tersebut," ujarnya.

Hanura Anggap Masyarakat Belum Paham Revisi UU KPK

Baca juga:



Sikap Jokowi

Presiden Jokowi hingga saat ini belum merespons soal revisi Undang-Undang KPK yang diusulkan oleh DPR. Menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Jokowi akan mempelajari terlebih dahulu isi draf tersebut.

"Kali ini, revisi UU itu datang dari DPR dan tentunya kita, pemerintah, dalam hal ini akan mempelajari isi, substansi, dan sebagainya," kata Pramono di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 7 Oktober 2015.

Menurut Pramono, pemerintah belum dapat memberikan komentar apa pun soal draf tersebut.

"Karena kita menunggu proses itu, dan tentunya karena ini menjadi inisiatif DPR, ya, kita tunggu bagaimana perkembangan selanjutnya terhadap proses pembahasannya," ucap dia.

Pemerintah pun belum mau berkomentar soal pembatasan masa kerja KPK. (Baca: )

Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki, menegaskan bahwa Presiden Jokowi membutuhkan KPK yang kuat untuk mengawal kebijakannya. Hal ini dikatakan Teten di tengah gencarnya revisi UU KPK yang diinisiasi DPR.

"Setahu saya Presiden Jokowi sangat komit dengan agenda pemberantasan korupsi," kata Teten.

Menurut Teten, Jokowi saat ini tengah gencar menggenjot pembangunan infrastruktur, sehingga betul-betul butuh KPK yang kuat dan bisa mengawasi pembangunan.

"Karena, biasanya pembangunan yang cepat itu kan bisa ada peluang-peluang terjadinya korupsi," ujar Teten.

Sekadar diketahui, para inisiator revisi UU KPK terdiri atas enam fraksi dan berjumlah 45 orang. Berikut adalah nama-nama mereka:

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

1. Masinton Pasaribu
2. Ichsan Soelistio
3. Marinus Gea
4. Arteris Dahlan
5. Abidin Fikri
6. N. Falah Amru
7. Junimart Girsang
8. M. Rakyan Ihsan Yunus
9. Adisatrya Sulisto
10. Darmadi Durinto
11. Risa Mariska
12. Irine Yusiana Roba Putri
13. Cahrles Honoris
14. Imam Suroso
15. Dony Maryadi Oekon

Fraksi Partai Golongan Karya

1. Tantowi Yahya
2. Adies Kadir
3. Dodi Reza Alex Noerdin
4. Bambang Wiyogo
5. Daniel Mutaqin
6. Kahar Miuzakir
7. Dito Ganinduto
8. Hamka B Kady
9. M. Misbakhun

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa

1. H. Irmawan
2. Rohani Vanath

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan

1. Aditya Mufti Ariffin
2. MZ Amirul Tamim
3. Elviana
4. M. Arwani Thomafi
5. Dony A.M

Fraksi Nasional Demokrat

1. Taufiqulhadi
2. Amelia Anggraini
3. Choairul Muna
4. Ali Mahir
5. Donny I Priambodo
6. Hasan Aminudin
7. Tri Murny
8. Yayuk Sri Rohayuningsih
9. Achmad Amins
10. Hamdhani
11. Sulaiman Hanizal

Fraksi Hati Nurani Rakyat

1. Djhoni Rolindrawan
2. Fauzih H. Amro
3. Inas Nasrullah Zobir

Sidang paripurna DPR Bahas RUU Pilkada

Cabut Revisi UU KPK, Demokrat Dekati PKS dan Gerindra

Butuh dukungan pemerintah dan mayoritas partai politik di DPR.

img_title
VIVA.co.id
25 Februari 2016